Selasa, 08 April 2014

Mahasiswa dan Politik

Semua mahasiswa dalam satu sisi mempunyai hak untuk berserikat dan berkumpul, dalam hal ini tentunya untuk ber-organisasi. Salah satu organisasi yang paling umum dan paling masiv tentunya adalah Partai Politik, dan tentu, setiap mahasiswa punya hak dalam berpolitik. Secara umum, ada 2 hak dalam berpolitik, yaitu Hak Aktif dan Hak Pasif. Hak Aktif, dalam masalah ini adalah ketika terjadi suatu pemilihan umum, seorang mahasiswa berhak untuk dicalonkan dalam pemilu tersebut, sedangkan Hak Pasif, adalah hak dimana semua mahasiswa berhak untuk memilih calon-calon yang tersedia dalam pemilu tersebut.
Dewasa ini, kita tentu sering melihat berita baik di media elektronik maupun membaca di media cetak tentang pergerakan rakyat ketika menentang suatu kebijakan dari Pemerintah, suatu kebijakan yang seringkali dipandang mencederai perasaan rakyat, karena seolah ditindas dan dirugikan oleh kebijakan yang kurang bijak tersebut. Dalam berbagai demonstrasi tersebut, tentunya kita tidak bisa mengesampingkan sebuah unsur kuat yang selalu menjadi motor penggerak pada demonstasi-demonstrasi tersebut. Ya, Mahasiswa. Hampir dalam setiap aksi demonstrasi, baik yang secara damai maupun yang menimbulkan aksi vandalisme, mayoritas pelakunya adalah mahasiswa.
Mengapa selalu mahasiswa? bisa jadi karena mahasiswa adalah cerminan dari kaum muda terpelajar, calon-calon pemimpin bangsa, sekaligus bisa jadi calon perusak bangsa. Mahasiswa bagaikan dua sisi mata pedang di masa depan nanti. Jika seorang mahasiswa ataupun lebih tepat disebut dengan aktivis atau organisatoris mempunyai jiwa yang baik dan tulus, kelak dia akan menjadi pemimpin bangsa yang baik. Dan sebaliknya, apabila seorang mahasiswa telah terkontaminasi pikirannya sejak ketika ia menjadi seorang aktivis, kemungkinan besar dialah yang akan merusak negara ini ketika menjadi pemimpin suatu saat nanti.
Kemudian setelah itu, untuk menjadi seorang pemimpin bangsa, dala hal ini saya misalkan sebagai presiden, menteri, legislator, dan lainnya, tentunya tidak bisa hanya dengan modal kepintaran, sesuatu yang saya yakin dimiliki oleh semua mahasiswa, terlepas dalam bidang apa yang dia bisa. Dalam hal ini, dibutuhkan suatu kendaraan yang bisa mengantar kita untuk dapat mencapai tingkatan itu, dan tanpa kendaraan ini sulit rasanya untuk menjadi seorang pemimpin bangsa yang punya otoritas untuk mengatur bangsa ini. Kendaraan ini tak lain adalah partai politik, atau jamak disebut dengan ParPol. Partai politik mempunyai peran yang sangat penting, bahkan sering menjadi elemen terpenting apabila kita ingin mendapat tempat yang strategis di pemerintahan, atau setidaknya membuat suara kita didengar tanpa harus berteriak.
Apa syarat jika ingin menjadi seorang anggota partai politik? Pada Bab V Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 , yang mengatur keanggotaan dan kepengurusan sebuah partai politik, dijelaskan ada beberapa persyaratan jika ingin menjadi anggota partai politik. Syarat pertama, seseorang harus sudah atau telah berusia 17 tahun, atau sudah pernah menikah. Syarat kedua, adalah dapat membaca dan menulis, dan syarat ketiga adalah memenuhi ketentuan yang ditetapkan suatu partai politik yang dilamarnya.
Melihat dari 3 syarat utama tersebut, sudah pasti seorang mahasiswa yang memang mempunyai keinginan untuk menjadi anggota partai politik sudah sangat memenuhi persyaratan, dan sangat mungkin akan banyak mahasiswa yang mengikuti atau masuk dalam keanggotaan partai politik. Sosok semacam Anas Urbaningrum ataupun aktor-aktor politik lain yang sedang menjadi trending topic akhir-akhir ini, sudah barang pasti adalah mantan mahasiswa yang menggeluti politik kampus, bahkan Anas merupakan seorang aktivis tulen ketika masih kuliah dahulu.
Pada akhirnya, bagaimana jika seorang mahasiswa menjadi anggota partai politik? Menurut saya, hal tersebut sah-sah saja. Saya sendiri adalah seorang anggota dari Partai Golkar. Politik, atau lebih tepatnya berpolitik, merupakan hak asasi seseorang manusia merdeka yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar. Terlebih lagi, dalam suatu kampus, terdapat banyak himpunan, kesatuan, persatuan, dan bahkan juga terdapat partai-partai mahasiswa.
Saya tidak tahu, apakah gerakan-gerakan semacam itu berbasis politik atau tidak. Yang jelas, pergerakan-pergerakan semacam itu adalah sebuah miniatur dari partai politik walaupun tentu berbeda baik sistem maupun bentuknya. Selain itu, Eksekutif Mahasiswa maupun DSM dan DPM juga merupakan miniatur dari sistem pemerintahan di negara ini, berkaca dari sudah diterapkannya prinsip Trias Politika gubahan Montesquieu.
Jadi, jika mahasiswa aktif dalam partai politik ataupun mungkin membentuk sebuah partai mahasiswa yang bersifat nasional, mungkin adalah sebuah ide yang sangat bagus. Mahasiswa yang berjumlah sangat besar bisa mempunyai massa dan simpatisan jika dikelola dan dicitrakan dengan baik. Namun tentunya, hal semacam ini akan berdampak sangat besar bagi mahasiswa secara luas.
Dampak positif bagi kalangan mahasiswa yang mengaku peduli tentu sangat banyak, misalnya mahasiswa tidak harus turun ke jalan untuk menyampaika aspirasinya. Dan apabila mempunyai seorang ataupun banyak wakil yang punya otoritas di pemerintahan, suara mahasiswa akan lebih di dengar, namun tentunya terlebih dulu harus mendengarkan suara rakyat, karena suara rakyat adalah suara Tuhan, Vox Populi Vox Dei.
Sebaliknya, dampak negatifnya juga banyak. Jika banyak mahasiswa yang aktif berpolitik dan bahkan mendirikan kantor di sebuah unversitas, bukan tidak mungkin massa mahasiswa yang banyak itu rentan ditunggangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan efek yang paling buruk adalah, mahasiswa yang dulunya menjadi tukang demo atas nama menyampaikan aspirasi rakyat, bisa jadi malah akan di demo rakyat.
Kesimpulannya, aktif di politik, dalam hal ini aktif dalam partai politik adalah hak setiap manusia yang sudah cakap hukum dan dewasa, termasuk kalangan mahasiswa, dan tentu sudah dijamin oleh undang-undang di negara ini. Hal-hal tersebut sangat layak dimanfaatkan asalkan bertujuan memperjuangkan rakyat indonesia dan semua aspirasi mereka.
**artikel normatif diatas saya tulis sekitar 1,5 tahun yang lalu, untuk memenuhi sebuah tugas ketika saya menjalani OSPEK. Belakangan saya baru mengerti, bahwa selama ini partai politik tidak boleh masuk kampus, sehingga mereka mengirimkan dan mengkaderisasi mahasiswa melalui organisasi sayap mereka. Saya memang bukan seorang pelaku politik kampus, namun dalam pandangan saya, jika mereka mengaku sedang menjalani sebuah proses berpolitik, maka saya pikir itu adalah proses yang kurang tepat. Dalam kepala saya, politik itu cerdik, kotor namun bersih, bukan seperti yang selama ini saya lihat di kampus, semacam baku hantam dan sejenisnya. Point berikutnya, mengenai demo sebagai cerminan mahasiswa, menurut saya sah-sah saja, asal tidak hanya menjadi sebuah aksi “putch” , apalagi sudah ditunggangi, dan mencerminkan seorang pembangkan, bukan seorang revolusioner yang humanis. Saya memang tak lebih baik dari mereka, apalagi saya juga tak turut campur tangan secara langsung dalam hal-hal tersebut. Namun, memberikan opini menurut saya sah-sah saja tanpa harus ikut campur dengan yang di-opini-kan. Ya, setiap orang mempunyai perannya masing-masing**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar