Dalam komunikasi sehari-hari
dengan menggunakan bahasa
(Indonesia) lisan maupun tulis
sering kita jumpai pernyataan-
pernyataan dalam bentuk
kalimat seperti
1. Ayahnya sudah tak ada lagi
di tengah-tengah mereka.
(= mati)
2. Pikiran sehatnya semakin
merosot saja akhir-akhir
ini. (= gila)
3. Anak Anda memang tidak
terlalu cepat mengikuti
pelajaran seperti anak-anak
lainnya. (= bodoh)
4. Anak itu mengalami
handicap mental. (= cacat
mental)
5. Penderita gizi buruk perlu
memperoleh perhatian
khusus. (= kelaparan)
Kalimat-kalimat di atas
mengandung ungkapan yang
lebih halus sebagai pengganti
ungkapan yang dirasakan kasar
yang dianggap menakutkan,
merugikan, atau tidak
menyenangkan. Gejala semacam
itu dalam istilah kebahasaan
disebut eufemisme.
Kata eufemisme atau
eufemismus diturunkan dari
kata Yunani euphemizein yang
berarti “mempergunakan kata-
kata dengan arti yang baik atau
dengan tujuan yang baik” (Keraf,
1985:132). Sebagai gejala
bahasa, eufemisme adalah
semacam acuan berupa
ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang,
atau ungkapan-ungkapan yang
halus untuk menggantikan
acuan-acuan yang mungkin
dirasakan menghina,
menyinggung perasaan, atau
menyugestikan sesuatu yang
tidak menyenangkan.
Dalam komunikasi sehari-hari,
baik lisan maupun tulis cukup
sering kita dengar ataupun baca
kata-kata atau kalimat-kalimat
yang mengandung eufemisme
seperti itu. Namun, hal itu terasa
wajar, mengingat bahwa dalam
komunikasi diperlukan
ketepatan pengungkapan pesan
agar pesan yang dimaksud
dapat dipahami oleh yang
menerima pesan itu dengan
baik. Pengungkapan pesan
memakai kata-kata yang bernilai
rasa halus secara tepat atau
eufimistis akan sangat
membantu penerima pesan
memaknai pesan tanpa
ketersinggungan atau gangguan
perasaan tidak enak dan
semacamnya. Sebagai contoh
lain, kita dapat membandingkan
nilai rasa pada dua kelompok
kata berikut ini:
A. 1. gelandangan B. 1.
tunawisma
2. pelacur 2. tunasusila
3. dipecat 3. dirumahkan, di-PHK
4. buruh 4. karyawan
5. minggat 5. pergi tanpa pamit
6. babu 6. pembantu rumah
tangga
7. berak 7. buang air besar, BAB
8. kakus 8. kamar kecil
9. gila 9. gangguan jiwa
10. melarat 10. di bawah garis
kemiskinan
Kata-kata dalam kelompok A dari
segi makna sama dengan kata-
kata yang ada dalam kelompok
B, namun dalam hal nilai rasa
berbeda. Kata-kata dalam
kelompok A bernilai rasa kasar,
merendahkan, menjijikan,
sedangkan pada kelompok B
bernilai rasa halus, menghargai,
sopan. Agar keefektifan
penuturan dapat dicapai dengan
sebaik-baiknya, kata-kata yang
bernilai rasa hendaklah dipilih
secara cermat. Salah pilih
terhadap kata-kata yang bernilai
rasa akan mengganggu
perasaan penerima pesan.
Eufemisme menjadikan pesan
dalam komunikasi tersampaikan
dengan jelas dan santun.
Komunikasi pun diharapkan
berlangsung lancar.
Namun, di sisi lain kadang-
kadang terjadi pernyataan-
pernyataan “eufemistis” yang
justru mengaburkan makna
pesan, seperti yang tampak/
terasa pada kalimat-kalimat
berikut ini:
1. Kebijaksanaan pimpinan
menghapus uang lembur
dinilai tidak adil. (=
peraturan, ketetapan)
2. Kini sejumlah tersangka
provokator telah
diamankan polisi. (=
ditangkap, ditahan)
3. Penertiban lapak-lapak
pedagang kaki lima oleh
SATPOL PP berakhir ricuh.
(= pembongkaran paksa)
4. Akibat seringnya
melanggar peraturan,
karyawan itu dipanggil
atasan untuk dibina. (=
diperingatkan, diberi
sanksi)
Pemakaian kata-kata
kebijaksanaan, diamankan,
penertiban, dan dibina dalam
kalimat untuk menggantikan
kata-kata peraturan, ditangkap,
pembongkaran paksa, dan diberi
peringatan. dengan maksud
memperhalus pernyataan bisa
menyebabkan kaburnya makna.
Kaburnya makna itu disebabkan
kata-kata pengganti atau
“penghalus” yang digunakan
tidak mampu secara tepat
menggantikan kata-kata yang
digantikannya, misalnya kata
kebijaksanaan tidak tepat
menggantikan peraturan,
diamankan tidak bisa
menggantikan ditangkap, dan
sebagainya. Sehingga yang
terjadi justru kesalahpahaman.
Akibat lebih lanjut adalah
terhambatnya komunikasi. Hal ini
tidak diinginkan, karena itu
kecermatan memilih kata/
ungkapan yang tepat harus
diutamakan.
Demikianlah, eufemisme yang
merupakan upaya memperhalus
dan mempersantun pernyataan
dalam komunikasi sehari-sehari
perlu dipahami secara benar
oleh penutur bahasa. Jangan
sampai keinginan berbahasa
yang santun justru menghambat
komunikasi.
Catatan:
Penulis adalah Dosen Program
Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia ,Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Unika Widya Mandala Madiun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar